Jumat, 01 Januari 2010

PERAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMAJUKAN PROGRAM

Pendahuluan

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa. Program Keluarga Berencana (KB) nasional telah mecapai keberhasilan yang cukup menggembirakan. Itu terlihat pada makin diterimanya norma keluarga kecil sebagian kecil sebagai bagian dari tata kehidupan masyarakat, juga tercermin dari meningkatnya angka keikutsertaan ber-KB, mengecil rata-rata jumalh anak yang dimiliki keluarga, menurunnya angka kematian ibu, bayi, dan anak, serta menurunna angka pertumbuhan penduduk.
Hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000 menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia 179,4 juta dan 206,2 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen pada periode 1990-2000, atau lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk periode 1970-1980 yang 2,32 persen, dan periode 1980-1990 yang 1,97 persen. Menurunnya laju pertumbuhan penduduk juga disertai meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat.
Misalnya, usia harapan hidup meningkat dari 60 tahun pada tahun 1990 menjadi 66,2 tahun pada tahun 2000. Angka kematian bayi pun menurun dari 71 pada 1990 menjadi 48 di tahun 2000 dari per 1.000 kelahiran hidup. Hasil Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia (SDKI 2002-2003) menunjukkan, angka kematian bayi menurun, yakni 35 per 1.000 kelahiran hidup. Ini didukung oleh makin meningkatnya proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, dari sekitar 40 persen pada tahun 1992 menjadi sekitar 70 persen pada tahun 2002.
Keberhasilan dalam pengendalian pertumbuhan penduduk ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran yang cukup bermakna. Pada tahun 1971, angka kelahiran total (TFR) diperkirakan 5,6 anak per wanita usia reproduksi, dan saat ini telah turun lebih dari 50 persen menjadi 2,6 anak (SDKI, 2002-2003). Penurunan TFR ini pada umumnya sebagai akibat dari meningkatnya pemakaian alat Kontrasepsi (prevalensi) pada pasangan usia subur. Pada tahun 1971, angka prevalensi kurang dari 5 persen, meningkat menjadi 26 persen pada tahun 1980, 48 persen pada tahun 1987, 57 persen pada 1997, dan sebesar 60 persen di tahun 2003.

Pembahasan

Pada penggunaan alat kontrasepsi bagi kalangan suami/pria tampaknya masih belum bisa dikatakan membudaya atau berhasil. Ini terbukti dengan penelitan terakhir di daerah Palembang yang menyatakan bahwa hanya 2,9 % laki-laki disana mengunakan alat kontrasepsi seperti kondom.
Penggunaan alat kontrasepsi kurang membudaya disebabkan oleh beberapa faktor yang melingkupinya. Salah satu faktornya yaitu karena masih kurang tersedianya jenis alat kontrasepsi untuk jenis kelamin pria. Selain itu terjadi karena masih adanya persepsi dikalangan ini bahwa masalah KB adalah urusan Wanita.
Keenganan kaum suami untuk ikut KB terutama disebabkan pengetahuan dan pilihan jenis kontrasepsi yang terbatas dibanding kontrasepsi pada wanita. Selama ini cara kontrasepsi pria yang dikenal hanyalah senggama terputus, penggunaan kondom, dan sterilisasi atau vasektomi. Oleh karena itu, untuk mendorong kaum pria/suami ikut berperan dalam program KB perlu dipikirkan penyediaan jenis kontrasepsi sehingga mereka mempunyai beberapa pilihan.
Begitu juga peran suami dalam di NTB masih kurang di laksanakan sehingga program KB tidak berjalan sesuai dengan harapan di Indonesia. Sebab pemerintah di NTB memperoleh bantuan dana dari Amerika Serikat Desecntralization Health Services (DHS) untuk program KB tersebut dan jumlahnya tak tanggung-tanggung yang mencapai Rp7,5 Miliar dan bantuan tersebut dikatakan akan bergulir selama 5 tahun mulai tahun 2006 dan setiap tahun diberikan dana Rp1,5 miliar. Bantuan dana luar negeri tersebut akan dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam memajukan program KB di daerah ini seperti penyuluhan dan pemenuhan berbagai alat kontrasepsi. Kegiatan penyuluhan program KB juga akan difokuskan kepada akseptor bukan hanya bagi perempuan tetapi juga laki-laki, karena keikutsertaan kaum lelaki dalam dalam ber-KB hanya 0,5%. Untuk itu,sasaran program KB tahun 2006 antara menngkatkan keikutsertaan kaum suami/pria dalam ber-KB menjadi 0,7% hingga 1%.
Selama tujuh tahun terakhir, kampanye/penyuluhan program KB cenderung hanya di tujukan kepada keluarga miskin. Salah satunya dengan cara membagikan alat kntrasepsi secara gratis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jumlah miskin hanya 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan demikian, yang tidak miskin jumlahnya lebih banyak. Jadi jika Program KB ditujukan untuk keluarga miskin, maka besar kemungkinan yang ber-KB akan lebih banyak, untuk itu sebaiknya program KB jangan dipilah-pilah, tetapi berlaku untuk semua keluarga.
Pada tahun 1992 ditemukan oleh Shafik dkk di Mesir cara kontrasepsi mekanik baru pada pria, yaitu dengan membungkus scrotum yang mengandung testis di dalamnya dengan bahan kain polliester. Setelah 140 hari pria itu menjadi azoospermia. Keadaan ini bersifat sementara, dan akan kembalinormal setelah 6 bulan jika laporanin benar dan konsisten hasilnya, maka akan merupakan harapan baru di masa mendatang bagi para suami.
Alat kontrasepsi untuk pria tersedia untuk saat ini hanya kondom dan tubektomi sementara untuk wanita pilihan untuk alat kontrasepsinya banyak. Dengan demikian alat kontrasepsi pria saat ini belum dpat dikatakan memuaskan sebagai kontrasepsi mantap dan aman.
Ber-KB atau menggunakan kontrasepsi, bagi suami istri, sebenarnya tidak cuma bermanfaat untuk program yang berkaitan dengan keturunan, tetapi bisa juga bermanfaat untuk kesehatan seksual. Kondom, IUD, pil, suntik, adalah sebagian fasilitas KB yang dipilih oleh suami istri sebagai upaya mengatur kelahiran anak, atau mencegah kehamilan. Kebanyakan pasangan yang berniat menggunakan kontrasepsi, semula bertujuan mencegah atau menunda kehamilan, karena mereka sudah terlanjur memiliki banyak anak.
Jika kontrasepsi digunakan oleh pasangan suami istri yang terlanjur punya banyak anak, tentu saja hal ini kurang sesuai dengan sasaran. Dalam hal ini, program KB terlambat dilaksanakan. Dan penyebabnya mungkin selama ini penyuluhan atau promosi cenderung cuma bertujuan membatasi jumlah anak. Padahal, bagi masyarakat di Indonesia, masih banyak yang percaya pada mitos. Misalnya, banyak anak akan banyak rezeki. Banyak anak akan banyak kegembiraan di hari tua (jika semua anaknya bisa bergantian membahagiakannya).
Masalah kesehatan seksual untuk masa sekarang makin dianggap hal utama bagi kehidupan keluarga (perkawinan), setelah banyak media secara terbuka dan terus menerus memaparkannya, lewat rubrik konsultasi seks dan sejenisnya. Dan semua jenis kontrasepsi, sebagai fasilitas program KB, sebenarnya bermanfaat untuk kesehatan seksual bagi penggunanya.
Misalnya, kondom bagi banyak suami istri ternyata sangat membantu mereka untuk menikmati kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan. Jangan heran jika sekarang banyak istri yang justru membelikan kondom untuk dipakai suaminya, karena alat kontrasepsi tersebut selalu membuat istri sangat mudah menikmati kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan.
Bicara tentang program Keluarga Berencana (KB) secara nasional, tak akan lepas dari peran serta kaum perempuan. Kesuksesan demi kesuksesan program KB nasional yang dinyatakan dengan berbagai penghargaan dari dunia internasional lepada pemerintah Indonesia, bisa jadi adalah pengakuan terhadap kesadaran perempuan Indonesia akan arti penting kesejahteraan keluarga lewat program pengaturan kelahiran atau KB.
Peran perempuan dalam memajukan program KB sebagai bagian dari upaya pembangunan bidang kependudukan memang tak diragukan lagi. Saat ini, dari sekitar 29 juta akseptor KB, lebih dari 90 persennya adalah kaum perempuan. Sementara peran pria, belum maksimal, meski telah banyak dilakukan sosialisasi dan advokasi.
Tantangan terbesar program KB di era desentralisasi yang telah berjalan hampir tiga tahun ini, cukup besar. Di tengah masa transisi kewenangan antara pusat dan daerah, utamanya di tingkat Kabupaten/Kota, peran KB juga diminta untuk lebih inovatif dalam arti tak sekedar memasyarakatkan alat kontrasepsi.
Sejalan dengan semangat desentralisasi, melalui keputusan presiden No 103/2001, pengelolaan program KB pun dilaksanakan secara otonomi oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Sejak 2,5 tahun ini, dari 433 Kabupaten/Kota di 32 provinsi (di luar DKI Jakarta), 415 atau 95,84 persen diantaranya telah memiliki lembaga sendiri. Dari 415 kabupaten/kota yang telah memiliki lembaga KB tersebut, 348 diantaranya dibentuk berdasarkan peraturan daerah (perda) sementara 67 diantaranya berdasarkan keputusan bupati/walikota.
Dalam kehidupan perempuan, keluarga yang dimiliki dengan jumlah anak yang ideal, merupakan upaya kesehatan reproduksi yang optimal. Dengan seringnya melahirkan, perempuan sangat berisiko dalam hal kesehatan alat reproduksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar